MUKADIMAH
Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. (Q.S. Yāsīn[36]: 69)
Sebagai mahasiswa fakultas sastra, dulu saya sempat jengah juga membaca terjemah ayat ini. Apalagi di ayat lanjutannya ada kesan bahwa orang sastra itu tergolong bukan manusia yang hidup hatinya. "Oh tidak!"
Bukankah Allâḥﷻ menyukai keindahan sehingga Ia ilhamkan beragam ilmu seni dalam kehidupan manusia, termasuk seni sastra? Apakah ini artinya Islam menganaktirikan ilmu sastra di wilayah keimanan? "Oh tidak!"
Orang awam sastra di luar sana kebanyakan memandang kemahiran olah-kata menghias makna itu gunanya paling tidak untuk mengakali orang atau sekadar untuk merayu wanita. Banyak yang tidak tahu bahwa Aristoteles pernah dengan jujur menyatakan bahwa sastra itu jalan ke-4 menuju kebenaran.
Banyak yang tidak tahu bahwa karya sastra beberapa kali telah mengubah arah sejarah. Novel Max Havelaar karya Multatuli berhasil memaksa Kerajaan Belanda yang tak-tahu malu untuk tahu diri. Lalu diterapkanlah Politik Balas Budi kepada rakyat Hindia-Belanda waktu itu. Novel Uncle's Tom Cabin telah menginspirasi terhapusnya sistem perbudakaan di dunia. Apakah ini semua tidak cukup? "Oh tidak!"
Di kampus sastra kami diajari bahwa
Hakikat puisi itu nyanyian hati,
hakikat prosa itu peristiwa, dan
hakikat drama itu lakuan dan cakapan.
Yang tentu saja dalam meracik kesemuanya itu diperlukan bumbu-bumbu peradaban, seperti ilmu psikologi, filsafat, dengan tambahan beragam pilihan penyedap rasa pilihan berupa asupan ipoleksosbudhankamnasrata sehingga logislah bahwa fungsi sastra itu dulce et utile, 'indah dan bermanfaat'.
Hasil akhir yang diniatkan karya sastra tinggi tentulah untuk lebih memanusiakan manusia. Yaitu manusia yang tajam pikiran dan perasaannya: bukan hanya pintar, melainkan juga cerdas (tablig dan fatanah); bukan hanya baik budi, melainkan juga dengan pekerti (siddiq dan amanah). Bukankah itu yang diwasiatkan Al-Imran:190-191 ada pada pribadi setiap muslim? Apakah ini semua tidak cukup? Apakah tetap Islam menganaktirikan sastra? "Oh tidak!"
Semua pertanyaan itu saya simpan sambil terus melanjutkan hidup dan studi. Toh bagi seorang yang waktu di sekolah menengah mengambil jurusan biologi kemudian terdampar di kampus sastra, ini semua adalah kehendak Tuhan juga. Segala kegalauan itu sengaja diabai dulu di bilik misteri alam pikir hingga akhirnya....
Hingga bertahun kemudian akhirnya mur bertemu baut, lubang pintu menemukan kuncinya. Semua tanya berjodoh jawab. Segala resah terbasuh sudah. "Eureka!"
Jawab atas tanya ini tentu tidak serta-merta diraih. Ada perjalanan 10 tahun lebih belajar tauhid hakiki (hakiki artinya 'yang sebenar-benarnya') di bawah bimbingan langsung mursyid yang haq sampai akhirnya saya dikaruniai paham maksud ayat tersebut. Jadi di sini Anda saya ajak bicara dengan bahasa pengalaman, bukan sekadar bahasa tumpukan kepustakaan yang bisu.
Oleh sebab ini bahasan yang rumit-bercabang, saya rincikan uraian ini poin demi poin sehingga Anda bisa menghubungkan antarpoin ini untuk kebulatan paham. Berikut ini rinci uraiannya:
A. BANGSA ARAB DAN SUSASTRA
Betul bahwa sejak pra-Islam bangsa Arab selain bangsa pedagang juga bangsa penikmat syair. Mereka sudah mengenal sastra tinggi dan tradisi bersyair mendapat kedudukan tinggi di masyarakat Arab. Di titik ini, tidak ada masalah antara kearaban dan kesastraan. Bahkan, pengetahuan tentang bahasa tinggi sastra juga pernah menjadi sebab salah seorang sahabat Nabiﷺ masuk Islam. Meski demikian, fakta sejarah ini tidak bisa dijadikan argumen untuk pembenaran yang mengesampingkan firman Allâḥﷻ di Surah Yāsīn ayat ke-69.Sayyidina Umar bin Khaṭṭab r.a. terkenal di kalangan kaumnya bukan hanya sebagai juara tahunan turnamen gulat tak-terkalahkan, melainkan beliau juga terkenal kefasihan wawasannya dalam hal syair. Tidak ditemukan catatan bahwa Sayyidina Umar pernah menulis syair, tetapi diketahui sejarah bahwa wawasan sastra tinggi beliau diakui oleh kaumnya. Jadi sosok Sayyidina Umar ialah petarung tangguh yang juga melek sastra.
Wawasan sastrawinya inilah yang membuat Sayyidina Umar tertampar nalar dan jiwa estetiknya oleh bahasa Quran, khususnya ketika membaca Surah Ṭāḥā ayat 1-14. Momentum hidayah yang terjadi atas diri Sayyidina Umar r.a. ini bukanlah karena beliau memaknai bahasa Quran itu indah dan tinggi di ranah sastrawi, melainkan ini bahasa yang di atas wilayah bahasa sastra. Beliau baru tersadarkan bahwa ternyata ada standar bahasa yang melebihi keagungan bahasa tinggi sastra, itulah bahasa hakiki; bahasa Quran.
"Ini...mustahil perkataan manusia," diriwayatkan Sayyidina Umar bin Khattab r.a. sampai bergumam demikian ketika itu. Selepas itu beliau meminta adik perempuannya—yang barusan didamprat sampai berdarah bibirnya oleh Umar—untuk menunjukkan di mana Muhammadﷺ. Ia ingin masuk Islam.
Nah, Anda sudah sampai pada pemahaman adanya perbedaan antara bahasa sastra dan bahasa hakiki di Quran. Sekarang mari kita lanjutkan penggalian makna hakiki Yasin:69 dikaitkan dengan pola puitis para sufi ini. Kali ini Anda saya ajak untuk mengenal perbedaan ragam bahasa sastra dan ragam bahasa dakwah.
SIFAT BAHASA SASTRA & KERUSAKAN BAHASA PUITIS PARA SUFI
1. Sifat Bahasa Sastra
Sifat bahasa sastra itu figuratif dan multitafsir. Ini yang membedakan ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa selainnya.Figuratif:
Pilihan-pilihan kata, khususnya dalam puisi, pantun, dan syair, sengaja direka-hias sedemikian rupa supaya merdu dalam rima dan syahdu dalam makna. Jadi, bahasa dalam karya sastra secara relatif adalah bahasa berbingkai yang penuh dengan kode estetik (seperti, kata "madu" sebagai simbol kenikmatan atau "batu karang" sebagai acuan pada keteguhan hati).
Multitafsir:
Bingkai kode-kode estetik dalam karya sastra inilah yang kemudian menimbulkan beragam penafsiran yang bergantung pada stok-respons (wawasan pengetahuan) para pembacanya masing-masing. Di dunia sastra, adalah sah jika Anda selaku penikmat/pembaca mengartikan sebuah puisi sebagai X, Y, atau Z, padahal si penulis puisi sedang berbicara tentang A. Di ranah sastra, Anda tidak salah dan sastrawan itu pun tidak salah. Justeru itu dianggap sebagai kekayaan karya sastra tersebut.
2. Sifat Bahasa Dakwah
Di sisi lain, sifat bahasa dakwah menghindari terjadinya multitafsir sebagaimana hal itu sah di dunia sastra. Ini karena dakwah adalah nasihat dan pengajaran bagi umat yang daya cerapnya beragam.Jadi dalam dakwah pilihan-pilihan katanya bersifat tegas, lugas, dan jelas: langsung mengacu kepada hal yang dimaksud. Tidak boleh timbul penafsiran yang beragam perihal ketentuan hukum syara`, terlebih lagi dalam hal menjelaskan ketuhanan Allâḥﷻ di ranah tauhid-makrifat.
Perhatikan:
Sifat bahasa sastra itu
figuratif-berhias dan multitafsir.
Sifat bahasa dakwah itu
langsung apa adanya dan jelas.
CONTOH KERUSAKAN BAHASA PUITIS PARA SUFI
Telah disampaikan di awal bahwa hakikat puisi itu nyanyian/senandung hati. Para sufi dalam laku-ibadahnya sering sampai pada ekstase (para sufi menjelaskannya sebagai "mabuk-nikmat) merasa lebih dekat dengan Allâḥﷻ atau dengan Nabiﷺ. ↤↤ sebenarnya ini hanya perasaan mereka saja. Baper kalau kata anak zaman sekarang.Pahami: "merasa dekat" berarti masih berjarak. Artinya masih becerai. Belum esa.
Dalam tauhid Islam,
Tuhan-hamba itu esa:
jauh takberjarak; dekat tiada antaranya,
tapi Tuhan tetap Tuhan; hamba tetap hamba.
Tidak pernah Tuhan menitis ke hamba dan tidak pernah hamba bisa menjadi atau setara dengan Tuhan.
Apakah ada jarak antara kulit ikan dengan air? Apakah ada yang meng-antara-i Anda dan urat leher Anda? Seperti itulah perumpamaan (i`tibar) yang disebut esa.
Berikut ini contoh-contoh frasa dalam puisi-puisi sufistik yang tauhidnya rusak:
- mabuk-nikmat
Zikr itu artinya mengingat. Aktivitas "mengingat" tentu dilakukan dalam keadaan sadar-penuh, bukan dalam keadaan setengah sadar apalagi mabuk.
Penggunaan kata "mabuk" dalam ranah religi tentu bermasalah. Jelas sekali mabuk itu maknanya negatif dan terkait dengan barang yang diharamkan Allâḥﷻ. Adab hakiki para sufi itu di mana? "Gak ada akhlak!" kalau kata anak zaman sekarang.
- anggur Sang Kekasih atau Tuak Ilahi
Ini juga contoh "Gak ada akhlak!" itu tadi. Bagaimana mungkin seorang yang dekat dengan Allâḥﷻ harinya sanggup menyandingkan-Nya dengan hal yang dilarang dalam agama yang diridai-Nya? Ini hanya menunjukkan bahwa para sufi puitis itu kebanyakan ilmu ushul tauhidnya masih mentah.
Dua contoh di atas cukup untuk merusak umat, terlebih lagi mereka yang awam, baik awam agama maupun awam bahasa sastra. Ini contoh nyatanya: Seorang akhwat pernah berkonsultasi bahwa suaminya ikut suatu pengajian yang menghalalkan khamr. Alasannya, segala sesuatu dari sumber yang sama, yaitu Nur Muhammad. Tentu saja pengajian itu menarik buat suaminya karena dulu waktu membujang dia memang suka minum-minum.
"Apa kalau sudah makrifat bisa sampai di level itu?"
Jawaban saya pada isteri malang itu:
Tentu saja tidak dan tidak akan pernah bisa seperti itu. Air accu dan air keras juga sama-sama dari Nur Muhammad. Mengapa tidak itu juga ditenggak sekalian?
Lagi pula jelas sekali di Quran bahwa teladan itu ada pada diri Nabiﷺ, bukan pada diri mursyid laknatullah yang menghalalkan hal yang dilarang Allâḥﷻ.
Ini contoh kecil betapa bahasa dakwah itu wajib dilakukan dengan hati-hati, jeli, dan menutup celah umat awam untuk tersalah paham. Di sinilah letak kesalahan para sufi puitis itu terhadap umat Muhammadﷺ.
Itu sebabnya di Surah Yasin:69 dinyatakan bahwa "Kami tidak mengajarkan syair pada Muhammadﷺ dan bersyair itu tidak layak baginya." Kalau Anda paham masalah, pasti sepakat bahwa betul-betul bersyair itu tidak layak bagi Nabi Muhammadﷺ (dan bagi para pedakwah Islam).
Apa sebab?
Sebab syair dan karya sastra lainnya itu lahir dari daya imajinasi. Jika Nabi Muhammadﷺ gemar bersyair, tentu tuduhan para kafir harbi bahwa Quran itu buatan Muhammad itu menjadi beralasan.
Sebab syair dan karya sastra menggunakan bahasa multitafsir yang tidak sah dipakai untuk menetapkan hukum di antara manusia.
Sebab tidak semua orang paham bahasa sastra dan tidak semua orang berselera untuk bersastra.
Paham sampai di sini? Semoga.
SIMPULAN
Publikasi puisi-puisi sufistik itu lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi umat. Khususnya bagi umat yang awam agama sekaligus awam sastra. Bahaya bagi umat yang awam, tapi sok-sokan makrifat. Itu sebabnya belajar agama itu wajib dengan guru, bukan cuma dari buku. Apalagi kalau hanya dari antologi puisi sufistik.Hakikat puisi-puisi sufistik bagi umat yang awam sastra hanyalah serupa menara gading. Bahwa mereka hebat, sedangkan kita yang awam ini takkan pernah bisa meraih nikmat iman seperti para sufi. Seperti itulah asumsi di kalangan awam sebagaimana saya sendiri rasakan dahulu.
Intinya, bagi saya pribadi puisi-puisi sufistik itu hanya untuk gaya-gayaan. Sufi model begini masih belum lulus: masih berkubang di kolam ujub yang halus. Para sufi sedemikian itu terbukti mentah akidah dan jahil hakiki. Mereka tidak tahu ada wilayah yang disebut "pakaian pribadi" yang tidak halal diungkapkan jika bisa membuat umat salah paham dan malah menjadi fitnah bagi agama sendiri.
Jadi bagaimana?
Jadi kalau Anda mau berdakwah, gunakanlah bahasa biasa, sederhana, lugas, dan jelas. Menggunakan bahasa yang "biasa-biasa saja" itu justeru lebih bisa menunjukkan ketinggian ilmu Islam. Tetaplah semakin terbukti bahwa "al-Islam ya`lu wa la yu`la `alaih".
Iqra merenik seperti ini yang banyak dilalaikan ulama dan pedakwah lulusan pesantren. Itu sebabnya saya memberanikan diri angkat bicara dan tentu....semua ini saya pertanggunggjawabkan dari dunia sampai akhirat. Wasalam.
By
Published: 2021-06-26T22:47:00+07:00
Orang Sastra, Orang Sufi, dan Yasin:69