MUKADIMAH
Ada dua sandaran dalil pegangan umat Islam yang secara literal teks menyebutkan frasa makhluk pertama, yaitu sabda Nabiﷺ yang popular dengan sebutan "hadis Pena/Qalam" dan "hadis Jabir". Keduanya sandaran ini diklaim berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muḥammad Rasulullâhﷺ, namun belum ada kesepakatan ulama yang bulat menerima keduanya sebagai sahih berasal dari Nabi Muḥammad Rasulullâhﷺ. Bahkan, ada juga kalangan yang secara gegabah menyatakan bahwa salah satu hadis tersebut sesat dan bukan berasal dari ajaran Islam.Demi kehati-hatian menanggapi dalil, di sini kami ajak Anda untuk meng-iqra-nya bersama-sama sebelum mengambil keputusan atasnya. Tentu di sini kami sifatnya sekadar membeberkan duduk masalah, sedangkan keputusan imani pribadi Anda kembali kepada diri Anda sendiri.
1. Kedudukan Hadis Pena
Sesungguhnya pertama kali yang Allâh ciptakan adalah pena, kemudian Allâh berfirman kepadanya: “Tulislah.” Maka terjadilah apa yang akan terjadi hingga selamanya. (H.R. Tirmizi, dan beliau berkata: hadis ini adalah hadis hasan sahih garib)
Kedudukan hadis pena di atas bisa dikatakan tidak diragukan lagi. Diterima secara luas oleh para ulama. Untuk itu, mari kita langsung melangkah saja ke bahasan iqra mengenainya.
2. Iqra Hadis Pena
“Tulislah.” Maka terjadilah apa yang akan terjadi hingga selamanya.
Dari redaksi Kalamullâh di atas, jelaslah bahwa "makhluk pena" yang dimaksud berfungsi untuk menulis sejarah alam dan kehidupan makhluk. Yang namanya sejarah tentu mengharuskan adanya tempat kejadian dan para pelaku sehingga terjadilah peristiwa. Jika tidak ada tempat dan pelaku, tentu tidak terjadi peristiwa apa pun alias tidak ada apa-apa. Jika tidak ada apa-apa, sejarah pun tidak pernah ada.
Yang dimaksud pelaku untuk terjadinya sejarah tentu kita-manusia, jin, malaikat, hewan, dan tumbuhan atau alam (bencana alam termasuk peristiwa sejarah). Yang dimaksud tempat kejadian sejarah tentu bumi (dan langit), tempat segala makhluk beraktivitas hidup dan berkelakuan.
Dengan demikian secara akal, Pena yang dimaksudkan dalam hadis tersebut sebenarnya mengacu pada bahan dasar penciptaan segala makhluk (baik berupa tempat maupun berupa pelaku kejadian sejarah) karena tanpa ada pena, maka tidak akan ada tulisan (tidak ada langit-bumi beserta isi-isinya). Sekali lagi, jadi sebenarnya yang dimaksud Pena di hadis ini mengacu pada pengertian "bahan dasar penciptaan makhluk" yang darinyalah segala makhluk diciptakan. Mudah-mudahan bisa dipahami ya. Insyaallah
Bila kita pikirkan lebih dalam, akan timbul pertanyaan lanjutan dalam benak kita sekira seperti ini:
Kita tahu bentuk dan sifat segala makluk, termasuk bentuk dan sifat diri kita; kita juga tahu bentuk dan sifat alam semesta. Diri kita dan semesta alam beserta isinya 🠈 ini di dalam hadis diibaratkan sebagai tulisan.
Nah, Pena yang disebut dalam hadis itu sendiri bentuknya seperti apa atau merupakan pengibaratan dari apa?
Setelah membaca dalil di atas, tentu saja yang ada di benak Anda tidak seperti yang ada di benak anak SD seperti ini: tercipta sebatang pena dan si pena itu menulis dengan sendirinya (dan berarti seisi alam semesta beserta segala isinya tercipta sekehendak si pena). Tentu tidak demikian, bukan?!
Mustahil juga ada orang membayangkan Allâhﷻ memegang pena itu lalu menulis dan/atau menggambar alias menciptakan segala makhluk. Allâhﷻ tidak memerlukan alat untuk mencipta sebab sifat "memerlukan" bukan Sifat Allâhﷻ. Sebagaimana Allâhﷻ tidak memerlukan mulut untuk Berkalam. Jangankan Allâhﷻ, Anda saja tidak memerlukan mulut untuk berkata-kata dalam hati, bukan?! Hati Anda saja tidak memerlukan mulut untuk berkata-kata. Terlebih lagi Allâhﷻ yang serba-Maha. Mahasuci Allâhﷻ dari hal-keadaan dan sifat-sifat yang menyerupai makhluk-Nya. Ingat, dalam setiap pembicaraan mengenai Tuhan, pegang terus prinsip Allâhﷻ tidak sama dengan segala sesuatu (Q.S. Asy-Syura:11). Jadi pastikan Anda pahami "Pena" di sini ialah sebuah metafora.
Dari argumen di atas, semakin jelaslah bahwa Pena yang dimaksudkan dalam hadis tersebut sebenarnya mengacu pada bahan dasar penciptaan segala makhluk. Atau lebih tepat lagi, Pena dalam hadis mengacu pada asbab pertama penciptaan makhluk.
3. Kedudukan Hadis Jabir
Berikut ini redaksi lain “hadis Jabir” di atas yang menurut sebagian ulama lebih sahih:
Sesungguhnya Allâh telah mencipta Nūr Muḥammad sebelum segala sesuatu dari Nūr-Nya. (H.R. Abdur Razzak)
Hadis riwayat Abdur Razzaq ini juga telah disebut oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, Asyraf al-Wasail ila Fahm al-Syamail dan kitab al-Ni`mah al-Kubra `ala al-Alam fi Maulidi Sayyidi Waladi Adam.
Di antara dua hadis tentang makhluk pertama (Pena vs Nūr Muḥammad), hadis inilah yang dianggap "hadis bermasalah" karena masih ada perbedaan pendapat para ahli hadis mengenai derajat isnadnya. Tidak sedikit yang menyatakan pahaman tentang Nūr Muḥammad itu berasal dari ajaran Syiah. Ada pula yang menudingnya sebagai pengaruh filsafat Yunani Kuno, bahkan tidak sedikit yang memahaminya secara asal-asalan seperti ini:
Menanggapi yang sedemikian, cukup kita beri penjelasan singkat seperti ini:
Mohon dibedakan antara
⦁ "Makhluk yang pertama diciptakan itu Nabimu."
dengan
⦁ "Makhluk yang pertama diciptakan itu Cahaya Nabimu."
Catatan:
Makna kata Nūr dalam Quran pada konteks ini pun bukan mengacu pada cahaya tampak yang sehari-hari kita lihat. Bahkan Imam Al-Gazali dalam Kitab Misykat al-Anwār membedakan makna Nūr dalam pengertian orang awam dengan makna Nūr dalam pengertian orang khusus (khawwas).
Di Quran sama sekali tidak ada tercantum konsep Nūr Muḥammad? Silakan cermati konteks makna Q.S. Al-Ahzāb:45-46 ini:
“Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allāhﷻ dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”
Mengenai silang pendapat, baik dalam hal ilmu kehadisan maupun dalam hal opini asal-usul pahaman Nūr Muhammad ini, kita serahkan saja pada pandangan mereka masing-masing ya. Adapun di sini kami coba sampaikan sisi yang lain perihal kesahihan pahaman Nūr Muhammad melalui data-data sejarah syiar Islam yang dilakukan oleh para `arif billāḥ tepercaya yang dikenal luas oleh umat Islam.
Tolak-ukur kami di sini ialah keyakinan bahwa mustahil pribadi-pribadi yang dikenal luas sebagai `arif billāḥ mengajarkan hal yang bertentangan dan/atau tidak bersumber dari Nabi Muḥammad Rasulullâhﷺ. Pastikan dengan yakin bahwa pribadi-pribadi yang dipercaya Allâhﷻ menduduki maqam `arif billāḥ itu bukan orang-orang culas yang berani seenaknya menambahi/mengurangi/mengubah ajaran Islam yang asli. Orang `arif billāḥ ialah pribadi-pribadi yang mengambil atau menolak sesuatu—dalam urusan keduniaan sekalipun—atas dasar perintah Allâhﷻ. Apalagi untuk urusan pengajaran agama 'kan?! Mustahil mereka berani menentukan arah ajaran berdasarkan daya pikirnya sendiri.
Nah, berikut ini kami sampaikan beberapa ulama terkemuka yang membahas Nūr Muhammad dalam kitab-kitab beliau, di antaranya:
⦁ Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani (Sulṭanul Awliya`);
⦁ Syeikh ‘Abdullah ‘Arif;
⦁ Imam as-Sayuṭi;
⦁ Imam al-Qasṭalani;
⦁ Imam al-Zarqani;
⦁ Sayyid Syaikh Ja`far al-Barzanji;
⦁ Syaikh Yusuf an-Nabhani;
⦁ Syaikh Nawawi al-Bantani;
⦁ Syaikh Nūruddin ar-Raniri;
⦁ Syaikh `Abdur Rauf al-Fansuri;
⦁ Syaikh `Abdus Ṣamad al-Falimbani;
⦁ Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari;
⦁ Syaikh Daud al-Faṭani;
⦁ Tuan Guru Haji Ahmad bin Haji Yusuf bin `Abdul Halim Kelantan;
⦁ `Allamah Abu `Abdullah asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad `Ilisy;
⦁ `Allamah Syaikh Muhammad Baṣri al-Manzalawi;
⦁ Sayyid Uṡman bin `Abdullah Bin Yahya;
⦁ Syaikh Muhammad bin Ismail Daudi al-Faṭani;
⦁ Syaikh Zainal `Abidin al-Faṭani;
⦁ Syaikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Faṭani;
⦁ Syaikh Uṡman bin Syihabuddin al-Funtiani;
⦁ Syaikh `Abdul Hamid bin `Ali Kudus.
Di antara para beliau di atas, paling tidak setiap muslim tahu satu nama yang paling atas tadi. Siapa di antara segenap ulama yang berani meragukan ke-`arifbillāḥ-an Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani? Siapa di antara segenap ulama yang berani menganulir gelar Sulṭanul Awliya`, `imamnya para wali Allâh' pada masanya?
Kami di sini bisa saja mencantumkan garis nasab beliau yang diakui tersambung kepada Nabi Muḥammad Rasulullâhﷺ melalui Fatimah r.a.; kami juga di sini bisa saja menyebutkan sanad ilmu beliau satu per satu; siapa-siapa saja guru Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani yang mewakili berbagai bidang ilmu dalam agama, seperti ilmu hadis, ilmu fikih, sejarah, sastra, ilmu hikmah, dsb. Akan tetapi, tidak perlulah diuraikan di sini karena mengenai itu sudah banyak dibeberkan dalam kitab-kitab biografi Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani.
Inilah argumentasi tambahan dari kami—almarhum mursyid dan para penempuh jalan tauhid hakiki Pusaka Madinah— dalam memutuskan bahwa pahaman tentang Nūr Muḥammad itu asli ajaran Islam dari Nabi Muḥammad Rasulullâhﷺ, tidak seperti yang ditudingkan orang selama ini. Terlebih lagi, justeru dari pemahaman tentang Nūr Muḥammad-lah kita bisa lebih mudah menjelaskan jalan pengenalan dan pengesaan yang sempurna akan Allâhﷻ. Diterima secara dedalil naqli (naṣ Quran); diterima juga secara dedalil aqli (akal sehat).
4. Iqra Hadis Jabir
”Wahai Jabir, makhluk yang pertama Allâh ciptakan adalah cahaya Nabimu yang Dia ciptakan dari cahaya-Nya. Kemudian Dia menjadikan cahaya tersebut berputar dengan kuat sesuai dengan kehendak-Nya. Belum ada saat itu lembaran, pena, surga, neraka, malaikat, nabi, langit, bumi, matahari, bulan, jin, dan juga manusia, dst.
Dari konteks hadis tersebut saja, kita sudah dapat mengambil simpulan bahwa makhluk pertama itu Nur Muhammad dan segala sesuatu yang tercipta setelahnya berasal/berbahan dasar dari Nur Muhammad. Jadi, segala yang ada di alam semesta beserta isi-isinya terbuat dari Nur Muhammad. Lakukan sekarang juga, pandanglah ke sekeliling Anda: semua yang terpandang mata itu terbuat dari Nur Muhammad. Ya, kursi, meja, gelas, kendaraan, angin, air, langit, termasuk jasad Anda sendiri, itu semua terbuat dari Nur Muhammad. Bahkan jasad Anda dengan surga dan neraka sama-sama terbuat dari Nur Muhammad.
Kita manusia dengan benda-benda sekitar itu satu zat atau se-zat.
Yang membedakan manusia dengan selain manusia itu ruhnya. Hanya ruh manusia yang terbuat dari Nur Ilahi (Q.S. Aż-Żariyāt [51]:20-21, Q.S. Al-Ḥijr [15]:29). 🠈 ini sebab para malaikat ketika itu disuruh bersujud ke Adam a.s.(.)
Mengapa harus ada Nūr Muḥammad?
[Anda pemegang buku Ilmu Sedikit untuk Segala²nya: Dasar-dasar Tauhid Hakiki, silakan buka lagi halaman 78.]Dari hadis yang diriwayatkan Abdur Razak r.a. sebelumnya jelas disebutkan bahwa Nūr Muḥammad itu dari Nūr Ilāḥi. Mengapa harus ada Nūr Muḥammad? Apakah tidak cukup Nūr Ilāḥi sebagai tempat bagi sekalian makhluk ciptaan Allāhﷻ (Q.S. Al-Fuṣṣilat [41]:54)? Pertanyaan-pertanyaan sedemikian sudah tersedia jawabannya pada riwayat dari Ibnu Abbas sebelumnya—yang penulis terjemahkan secara bebas seperti ini:
Kalau Nūr Muḥammad tidak ada, surga-neraka juga tidak ada (artinya dunia-akhirat termasuk kita juga tidak akan di-ada-kan Allāhﷻ) karena Nūr Ilāḥi itu Mahadahsyat.
Kita tahu cahaya matahari saja begitu hebat panasnya. Itu baru api dunia, bagaimana dengan api neraka? Kita yakini terlebih dahsyat lagi panasnya daripada panas matahari. Api dunia dan api neraka yang nota bene baru api kelas makhluk saja sudah tak terbayangkan dahsyatnya, apalagi dengan Cahaya Tuhan? Apakah ada yang sanggup hidup terpapar langsung Cahaya Tuhan? Ingat dalam Quran (Al-A`raf:143), Bukit Ṭursina meledak hancur jadi debu taksanggup menerima pancaran Nūr Ilāḥi ini. Padahal Nūr Ilāḥi yang terpancar itu konon baru 1/7 helai rambut. Itu pun baru Nūr Ilāḥi yang terpancar dari dahi Musa a.s., bukan dari Allāhﷻ langsung!
Singkat kata, Nūr Ilāḥi ini Mahadahsyat dan tiada satu makhluk pun sanggup terpapar langsung berada di dalam liputannya. Oleh sebab itu, Nūr Ilāḥi perlu ditabiri agar makhluk yang kelak diciptakan tidak binasa seketika. Nūr Muḥammad-lah tabir yang dimaksud. Ibarat kata, cahaya matahari yang bisa membinasakan, perlu ditabiri dengan lapisan ozon agar kehidupan di Bumi dapat berlangsung.
Jika perkataan saintis tentang keberadaan lapisan ozon di atmosfer saja Anda langsung taqlid percaya, mengapa Kalam Allâhﷻ dan sabda Nabiﷺ dalam dedalil masih Anda ragukan?
5. Keputusan tentang Makhluk Pertama
Ada satu hadis lain yang akan memudahkan kita menangkap kaitan antara "Pena" dengan "Nur Muhammad". Hadis mana yang dimaksud? Yaitu hadis berikut ini:
Untuk bagian ini saya tidak akan terlalu banyak cakap lagi. Saya persilakan Anda mengiqra sendiri dari tayangan beserta keterangannya di bawah ini. "Pemahaman yang didapatkan dari hasil pemikiran pribadi terhadap ayat-ayat Allâhﷻ akan lebih memuaskan dirimu. Maka asahlah akal dengan pemikiran, bukan dengan batu canai," demikian Alm. Mursyid K.H. Undang Sirad ketika mendorong murid-muridnya dalam mensyukuri nikmat akal.
“Kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptakan Adam, surga-neraka.”
“Kalau bukan karena Pena, Aku tidak menciptakan Adam, surga-neraka.”
Ingat, ini sekadar ilustrasi untuk mendekatkan paham.
Jangan dibayangkan Allâhﷻ menciptakan Adam seperti di tayangan ya.
“Kalau bukan karena Pena, Aku tidak menciptakan sejarah seisi alam.”
“Kalau bukan karena Nur Muhammad, Aku tidak menciptakan sejarah seisi alam.”
“Kalau bukan karena Pena, Aku tidak menciptakan dedaunan.”
“Kalau bukan karena Nur Muhammad, Aku tidak menciptakan dedaunan.”
Bagaimana, sudah Anda dapatkan benang merahnya? Mudah-mudahan dapat dipahami ya. Jadi disimpulkan di sini bahwa hadis Pena dan hadis Jabir sama-sama mengacu pada satu hal, yaitu Nur Muhammad sebagai makhluk yang pertama diciptakan Allâhﷻ. Atau mungkin masih ada ganjalan di hati Anda berupa tanya seperti ini:
Mengapa mesti ada dua pilihan kata yang berbeda (pena dan Nur Muhammad) dengan redaksi yang berbeda pada sabda Nabi mengenai makhluk pertama itu?
Jawabannya karena Rasulullâhﷺ dikaruniai kemampuan berbicara dengan perkataan yang akurat, jelas, padat sehingga bisa dihafal oleh orang yang ada di sekitarnya. Di sisi lain, isi pembicaraan beliau selalu disesuaikan dengan kadar intelektualitas kawan bicaranya.
"Aku diutus dengan Jawami' al-kalim (ucapan singkat, tetapi sarat makna). (H.R. Bukhari kitab at-Ta'bir).
“Rasulullâh selalu berbicara dengan perkataan yang jelas yang bisa dipahami orang yang mendengar.” (riwayat dari Aisyah r.a)
Allâhua`lam.
Kolom komentar di bawah kami tutup agar pembahasannya terfokus di satu tempat. Jika ada pertanyaan dan/atau tanggapan terkait artikel ini, mari diskusikan bersama di page Pusaka Madinah — Tauhid Hakiki kita pada tautan berikut: Makhluk Pertama: Pena atau Nur Muhammad?
By
Published: 2019-11-09T19:45:00+07:00
Makhluk Pertama: Pena atau Nur Muhammad?