Sebelum ini:
Zahir kelihatan hidup, tapi tidak merasa hidup dari yang bersifat Hidup. Jadi zahir ini tunggul bersifat mati dihubungkan dengan yang bersifat Hayat.
Jasad-zahir hidup, janganlah lupa dengan yang bersifat Ma`ani. Hayat itu sifat Ma`ani. Siapa yang bersifat Hayat dalam Ma`ani? Ialah Zat Allah.
Syariatun illa haqiqatun, atilatun;
Haqiqatun illa syariatun, batilun.
Syariat tanpa hakikat, sia-sia;
Hakikat tanpa syariat, batal.
Kita tahu berkata-kata itu sifat Ma`ani Kalam Zat. Kita tahu jasad kita ini tunggul mati yang dihidupkan dengan sifat Hayat Zat.
Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka [seraya berfirman]: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul [Engkau Tuhan kami], kami menjadi saksi". [Kami lakukan yang demikian itu] agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami [bani Adam] adalah orang-orang yang lengah terhadap [keesaan] ini," (Q.S. Al-A`raaf:172)
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda [kekuasaan Allah] bagi orang-orang yang yakin, (20) dan [juga] pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Q.S. Adz-Dzariyaat:20-21)
Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qash). Di dalam istana itu ada shadr, di dalam shadr itu ada kalbu (qalb), di dalam qalb itu ada fu'ad , di dalam fu'ad itu ada syaghaf, di dalam syaghaf itu ada lubb, di dalam lubb ada sirr, dan di dalam sirr itu ada Aku (Ana). [Hadis Qudsi]
Syariatnya: kita berbicara,
Hakikatnya: Zat-lah yang berbicara.
Maka hubungkanlah rasa itu ke Zat di sama-tengah hati. Baru kita bicara itu bicara benar: dari yang Haq, bukan dari diri nafsumu.
MELATIH IHSAN
Coba berbuat atau mengambil sesuatu itu bukan dengan dorongan sesuatu atau bukan dengan dorongan "otot" keinginan.Umpama kamu mau menulis. Tentu dengan memegang pena dulu. Waktu kamu pegang pena bukan dengan kekuatan otot lalu langsung pegang saja, tidak ada dengan bantuan pikiran dan lain-lain. Ini cara mempraktikan ihsan.
SADAR ZAHIRU RABBI
Manusia saja secara syariat ketika ingin membangun rumah, terdahulu mencari tanah lapang. Kemudian dibangunlah rumah.Apa yang terdahulu dari bangunan itu yang akan kamu bangun, terserah kemauan orang yang mau membangun.
I`tibar dari Abah Sirad di atas itu mengisyaratkan proses penciptaan semesta. "Tanah lapang" mengacu kepada Zahiru Rabbi = Nur Ilahi = Tubuh Maharuang/Wilayah yang ada di balik Maharuang.
Yang terdahulu Allah ciptakan setelah Nur Ilahi tersedia adalah Nur Muhammad: induk/sumber penciptaan sekalian makhluk.
Lau laka laa maa khalaktul aflaka.
"Jika bukan karena engkau (Muhammad), tidak Kuciptakan alam semesta ini." (hadis qudsy)
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?.'' (Q.S. al-Anbiya:30)
"bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu" ↤ mengacu pada Nur Muhammad yang berasal dari Nur Ilahi/Tubuh Maharuang ketika belum ada makhluk.
MEMANDANG ZAHIRU RABBI
Kalian semua mau lihat yang ada di dalam TV. Yang kamu lihat itu kaca: tampaklah gambar. Kalian mau lihat Tubuh yang ada di dalam Kosong itu: lihat yang di sama-tengah-hati. Pusatmu.Tentang Pusat sebagai Sama-tengah Hati.
[Kedudukan sama-tengah hati dalam jenis-jenis sirr hati baca pada tautan ini]
Perhatikan secara jasadi, bagian mana yang merupakan pertengahan jasad manusia dari atas-bawah-kiri-kanan-depan-belakang? Pastilah pusat.
Rasakan lebih ke dalam lagi, bekas tali pusat memang adanya di perut kita. Artinya di bagian depan badan kita. Tapi yang tampak di perut itu aslinya adalah ujung bekas potongan tali pusat. Pangkal pusat itu jadi di mana? Tentu di dalamnya lagi.
Sudah mulai terbayang dan terasa titik pusat Anda? Nah, sekarang pakai logika sekaligus rasa. Inti dari titik pertengahan dari atas-bawah-kiri-kanan-depan-belakang jasad Anda itu di mana kalau bukan di mana-mana (bukan di atas-bawah-kiri-kanan-depan-belakang), tidak bisa disebut, tapi ada. Benar 'kan?!
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (Q.S. Al-Insan:1)
Aku jadikan pada manusia itu ada istana (qash). Di dalam istana itu ada shadr, di dalam shadr itu ada kalbu (qalb), di dalam qalb itu ada fu'ad , di dalam fu'ad itu ada syaghaf, di dalam syaghaf itu ada lubb, di dalam lubb ada sirr, dan di dalam sirr itu ada Aku (Ana). [Hadis Qudsi] {perhatikan informasinya, makin "ke dalam" 'kan?!}
Simpulan: Jadi Kosong Maharuang yang ada di hadapan mata kita dengan yang di dalam pusat itu sama: Kosong. Itu sebabnya Abah Sirad sering berkata, inilah diri (sambil menunjuk Maharuang).
Jadi kalau kita menyembah Kosong, itu sama dengan kita menyembah diri. Zindik. Sembahlah yang "di balik" Kosong itu. Sembahlah yang "Kosong sekosong-kosongnya". Kosong sekosong-kosongnya bermakna 'bahkan kosong pun tidak ada lagi'.
Jasad kita dari Nur Muhammad, ruh kita dari Nur Ilahi
:artinya Nur Muhammad dan Nur Ilahi itu esa.
Nur Muhammad dan Nur Ilahi itu esa dengan Tuhannya
:bukan ber-satu, bukan menyatu, melainkan satu; padu; compact.
Inilah bukti bahwa kita dengan Tuhan itu esa: jauh tidak berjarak-dekat tidak ber-antara dan tidak bersentuh. Tapi, Tuhan tetap Tuhan, hamba tetap hamba. Camkan itu!
Jadi ketika kita tahiyat dalam salat, yang kita tunjuk itu siapa? Nur Muhammad, Nur Ilahi yang Esa dengan Rabbul Izzati, Allah Azza wa Jalla.
Intinya yang kita tunjuk itu: Yang Ada di "balik" Cahaya Tuhan. Siapa lagi kalau bukan Tuhan, Sang Pemilik Cahaya itu sendiri. [baca juga: Dipandang, Disebut, Ditunjuk Pula]
[Ingat, jangan dibayang-bayangkan Tuhan itu. Setiap yang terbayang, bukan Tuhan. Kata Abah Sirad, "Sudah yakin saja Tuhan itu ADA. Jangan diutak-atik lagi begini-begitu!"]
InsyaAllah bersambung ke Babul Hidayah: Bab Salat.
By
Published: 2014-09-12T21:02:00+07:00
Babul Hidayah: Melatih Ihsan dan Memandang Zahiru Rabbi