Kuntu kanzan makhfiyyan fa `aradtu an u`rafa fa khalaqtu ‘l-khalq li-kay u’raf.
“Aku adalah khazanah tersembunyi. Aku berkehendak untuk dikenal maka Ku-ciptakan makhluk sehingga dengan-Ku mereka mengenal-Ku.”
Tujuan penciptaan makhluk ialah agar makhluk mengenal Penciptanya. Jadi, Allâhﷻ utamanya berkehendak untuk dikenali. Allâhﷻ tidak membutuhkan ibadah kita sama sekali, terlebih lagi apabila kita tidak mengenal apa-siapa-bagaimana yang disebut Tuhan itu.
Apa sebab?
Sebab seisi langit-bumi tidak menyembah-Nya pun Allâhﷻ tetaplah Tuhan. Ad-dīnul aqli! Apalagi jelas, setiap yang bersifat "membutuhkan", pasti bukan Tuhan. Ad-dīnul aqli!
Tapi bukannya memikirkan Allâhﷻ itu dilarang?
Betul. Tapi mengenal Allâhﷻ itu wajib.
Maksudnya?
Maksudnya, kita wajib mengenal apa-siapa-bagaimana Allâhﷻ itu sampai kita paham dan sadar bahwa yang disebut Tuhan itu tidak bisa dipikir-pikir, tidak bisa dirasa-rasa, bahkan tidak bisa disebut.
Sebab setiap yang bisa dipikir pasti bukan Allâhﷻ,
sebab setiap yang bisa dirasa pasti bukan Allâhﷻ,
sebab setiap yang bisa disebut pasti bukan Allâhﷻ.
(Q.S. Asy-Syura [42]:11)
Kata "Allâh" <~~ ini Nama-Nya,
Diri Yang Punya Nama yang mana?
Yang Tidak Bisa Disebut. Yang Tidak Bisa Dipikir, dst.
Nah, kalau pemahaman kita sudah sampai pada formula ini:⠀
"Allâhﷻ itu tidak sama dengan segala sesuatu yang bisa disebut-dipikir-dirasa",
barulah kita stop perjalanan iqra mengenal Allâhﷻ sampai di situ. Jangan dipikir-pikir lagi soal Allâhﷻ itu beginikah atau begitukah. <~~ inilah yang diharamkan.
Sudah tahu tidak bisa dipikirkan, kalau memaksa dipikir-pikirkan juga, bisa gila kamu. Inilah maksud judul status di atas. Mengenal-Nya wajib, memikirkan-Nya haram.
Jangan terbalik, kebanyakan kita sebelum ini tidak mau berpikir dan memikirkan perihal ini. Belum apa-apa, sudah apriori terhadap bahasan-bahasan ilmu tauhid. Lupa kalau wahyu pertama-perintah pertama-ayat pertama-syariat pertama itu bunyinya: IQRA!
Lupa kalau Nabi Ibrahim a.s. itu digelari Khalilullâh (Kekasih Allâh) dan secara aklamasi dinobatkan sebagai Bapak Tauhid itu karena beliau akhirnya "menemukan Tuhan" melalui perjalanan iqra.
76.
"Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".
77.
"Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat".
78. "Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan."
79. "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."
"Banyak orang tahu Tuhan,Inilah yang banyak dilalaikan ulama masa kini dalam dakwahnya: lebih banyak bicara soal hukum dan akhlak, sedangkan pengenalan tentang Allâhﷻ sering diabaikan. Padahal awwaludīn ma`rifatullâh [Baca juga: Melihat Tuhan]. Padahal kalau pahaman tauhid sudah mantap, pemahaman umat soal hukum dan akhlak pun bisa lebih paripurna.
sedikit sekali yang mau kenal Tuhan."
— K.H. Undang Sirad
Ulamanya lalai sehingga umat terlebih lalai. Islam itu dibangun dengan uṣuluddin, yaitu uṣul tauḥīd dan uṣul fiqḥ. Mengapa tema-tema dakwah selama ini kadarnya tidak berimbang di antara keduanya (uṣul tauḥīd dan uṣul fiqḥ)? Itulah PR bagi siapa pun Anda yang disebut ulama, kiyai, habaib, ustaż, da`i, gus, dan tuan-tuan guru.
Kolom komentar di bawah kami tutup agar pembahasannya terfokus di satu tempat. Jika ada pertanyaan dan/atau tanggapan terkait artikel ini, mari diskusikan bersama di page Pusaka Madinah — Tauhid Hakiki kita pada tautan berikut: Mengenal Allâh Itu Wajib; Memikirkan-Nya, Haram
By
Published: 2018-09-23T17:50:00+07:00
Mengenal Allâh Itu Wajib; Memikirkan-Nya, Haram