
Salam alaikum, Sobat Sarang - Keluarga Pusaka Madinah dan seluruh umat tauhidi ummat Muhammad Shalallaahu `alaihi wa salam. Topik kita kali ini adalah intisari Kitab Bayanu Syahadat, kitab peninggalan ulama mutahaqama dan ulama al-faham generasi terdahulu [salaf].
Kitab ini disebut kitab langka bukan hanya karena sangat langka orang yang masih menyimpannya, melainkan juga karena sangat sulit menemukan orang yang bisa menerangkan teknik praktiknya dengan benar, yaitu praktik amal ritual shalat yang sesuai dengan teladan shalat Nabi Muhammad Saw. Berdasarkan informasi dari Guru kita, K.H. Undang bin Yahya Siradj, masih banyak yang mengamalkan isi kitab ini justru malah merusak musyahadah pada Allah sehingga nilai ibadah shalatnya pun ikut rusak.
Dari kitab Babul Ihsan kita membahas kesempurnaan niat dan takbiratul ihram dalam shalat. Nah, dalam kajian kitab Bayanu Syahadat ini, rukun qalbi dalam shalat itu kesempurnaannya diperhalus lagi. Tulisan ini pun sekaligus melengkapkan apa-apa yang belum dijelaskan dalam tulisan mengenai Rahasia dan Kitab Shalat Kaum Salaf pada publikasi blog ini tempo hari.
Sekadar mengingatkan kembali, bahasan mengenai dasar-dasar rukun qalbi dalam shalat juga pernah dimuat di blog ini:
- Makna Hakiki Gerakan dalam Shalat
- Tips Shalat Khusyuk Tauhidi
- Tips Shalat Khusyuk Ultimat
- Shalatnya Islam Kaffah
Baiklah, mari kita kemon, Pak Ogah!
Terdahulu, mari kita buka Q.S. Al-A'raaf ayat 172.
Berpijak pada ketetapan dalam ayat di atas, kita ketahui bahwa dahulu di alam arwah--sebelum ruh ditiupkan pada jasad--sudah kita sempurnakan syahadat dengan seruan,"Balaa syahidna." Di alam dunia juga kita perlu menyempurnakan balaa syahidna ini sebab sebenarnya ada ancaman Allah di ayat di atas itu.
[Kami lakukan yang demikian itu] agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami [bani Adam] adalah orang-orang yang lengah terhadap ini [keesaan Tuhan]
Makna hakikinya: "Aku tidak mau tahu jika kamu pada yaumil qiyamah nanti tidak tahu tentang keesaan ini!"
Maka di dunia juga kita musti sempurnakan balaa syahidna ini.
Di mana kita melakukannya?
Di dalam ibadah yang utama: shalat.
Di dalam shalat, bagaimana kita menyempurnakan balaa syahidna ini?
Menurut maqam-maqam orang hakikat dan makrifat, diketahui bahwa:
kedudukan syariat di dalam shalat ialah dalam duduk;
kedudukan tarikat di dalam shalat ialah dalam berdiri;
kedudukan hakikat di dalam shalat ialah dalam ruku`;
kedudukan makrifat di dalam shalat ialah dalam sujud;
Menurut maqam-maqam orang hakikat dan makrifat, juga diketahui bahwa:
puji syariat pada Allah di dalam shalat yaitu Laa ilaaha illallaah;
puji tarikat pada Allah di dalam shalat yaitu Laa na`budu illallaah;
puji hakikat pada Allah di dalam shalat yaitu Laa mawjudun illallaah;
puji makrifat pada Allah di dalam shalat yaitu Laa na`rifu illallaah.
Ucapan-ucapan ini jangan diucapkan dengan mulut juga jangan diucapkan dengan hati. Masih ada orang yang ketika mengamalkan kesempurnaan balaa syahidna ini dengan menyelip-selipkannya di dalam rukun qauli shalat, yaitu ketika mengucapkan takbir. Apa jadinya shalat kita jika ketika takbir di mulut, sambil dalam waktu bersamaan kita usahakan mengucapkan puji-puji di atas itu di dalam hati?
Shalat yang seperti itu yang dikatakan: "Kita shalat, kita tahu; tapi kita tidak shalat di dalam shalat, tidak tahu."
Shalat yang seperti itu yang terkena fa wailullil mushalliin [Q.S. al-Ma`un:3-4]; shalatnya orang-orang celaka.
Praktik-praktik seperti inilah perlu terbimbing.
Agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam bacaan shalat, ucapkan puji syariat-tarikat-hakikat-makrifat itu dengan sirr hati. Sirr itu rasa; rasa itu Rahasia. Caranya dengan kita menyempurnakan mad badal di dalam setiap takbir. Tiga alif [harakat] ketika menyebut Asma-Nya: "Allaaahu Akbar!"
Sekali lagi, puji-puji itu tidak diucapkan dengan mulut dan hati. Cukup dengan sirr. Karena sirr tidak bermulut dan berlidah, maka ucapannya itu tidak berhuruf dan tidak bersuara. Kalau sudah mahir, ucapan-ucapan itu jangan diingat-ingat lagi ketika takbir. Sedikit pun jangan diingat lagi! Sebab itu pekerjaan sirr.
Jadi, Rahasia Allah bukan yang shalat itu?!
Apa Rahasia itu? Zat.
Apa Zat itu? Diri Allah.
Inilah makna hakiki perkataan "Diri Allah memuji Tuhannya. Ini baru disebut qadim menyembah qadim. Jadi tidak ada diri baharu memuji Tuhannya. Yang seperti itu najis batin. Maukah ber-imam pada orang yang bermaksiat batin ketika shalat?!
Jadi shalat ini tidak ada "aku"-nya lagi. Kalau sudah diketahui, sempurnakanlah. Rasakanlah bahwa Rahasia Allah yang shalat. Bukan diingat, melainkan dirasakan.
Catatan:
Dalam praktik tafakur dikatakan kita harus mendiamkan pikiran dan perasaan. Tapi, di tulisan di atas dikatakan puji-puji itu dirasakan. Jangan bingung. Yang diminta didiamkan dalam tafakur itu perasaan yang baharu, alias perasaan yang ada di dalam dada, yaitu yang di hati sanubari. Yang di dada ini masih tempat bercampurnya bisikan-bisikan nafs dan bisikan setan. Itu sebabnya beberapa kalangan tasawuf yang amalannya pakai atur-tahan napas dan masih memfokuskan zikir di dada dikatakan masih duduk di kebatinan, belum di makrifat.
Yang diminta dalam tafakur itu diamnya perasaan baharu, supaya bisa mendengarkan perasaannya perasaan. Logikanya, kalau perasaan yang datang dari nafs ini bicara terus tidak mau diam, kapan mau mendengarkan perasaannya perasaan bicara?
Oya, mau tahu setebal apa kitab Bayanu Syahadat yang isinya amat berharga ini?
Hanya setebal 7 lembar, lho! 8O

By
Published: 2013-02-18T09:38:00+07:00
Intisari Kitab Langka: Bayanu Syahadat - Kesempurnaan Shalat