Contoh Kasus Ulama yang Bicara Agama tanpa Ilmu ~ Pusaka Madinah

burnzone

AD (728x60)

Contoh Kasus Ulama yang Bicara Agama tanpa Ilmu

"Sampaikan dariku walau satu ayat." [H.R. Bukhari]

Performa dan tampilan terbaik laman ini pada peramban Microsoft Edge. Khusus pengguna perangkat mobile: Apabila ada artikel yang tampilannya terpotong, silakan baca dalam mode landscape. Apabila masih terpotong, artinya artikel tersebut hanya nyaman dibaca via laptop atau PC.
landscape mode.
 Hanya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran. (39:9)


Salam alaikum,
Saya mau tanya:
Selama Sobat menunaikan ibadah salat Jumat, seberapa sering Sobat jatuh tertidur selama khutbah jumat berlangsung?
Sering?! Samma! xD

Saya tanya lagi ya:
Di antara khutbah jumat yang Sobat tidak terkantuk-kantuk itu, pasti karena khatib membawakan khutbahnya dengan berapi-api ya?
Hu-uh?! Wajar! xD

Tentu saya tanya lagi:
Di antara khutbah yang berapi-api itu, kebanyakan temanya soal hukum atau akhlak ya?!
Ho-oh?! Ngaku! xD


Mohon sabar, Saudaraku seiman, wahai para ulama, ustaz, da'i, dan santri sekalian. Tulisan ini dimuat bukan dengan tujuan mencemooh, melainkan wujud keprihatinan menahun .. atau kalau kata anak muda alay sekarang: Gatot, 'galaw total'. :P

Mohon dimaafkan, sebab beginilah adanya saya dalam menulis: dengan determinasi, bukan dengan arogansi; dengan fakta, bukan dengan prasangka. Tapi, jika yang yang Anda terima justru sebaliknya. Tentu tidak bisa juga disalahkan.

Hampir bisa dipastikan setiap khatib di mimbar Jumat memulai khutbahnya dengan ajakan untuk bertakwa pada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya takwa, ajakan untuk berislam secara kaffah, ajakan untuk bersabar, dan ajakan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt. Ajakan ini tentu ditujukan bagi diri khatib sendiri dan bagi jemaah Jumat sekalian.

Setelah itu, barulah masuk ke dalam tema khusus yang hendak dibawakan khatib yang dimaksudkan sebagai rincian atas ajakan untuk bertakwa pada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya takwa, ajakan untuk berislam secara kaffah, ajakan untuk bersabar, dan ajakan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt.

Lazimnya, tema khusus tersebut dirinci dengan menyampaikan ciri-ciri orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, ciri-ciri orang yang berilsam secara kaffah, ciri-ciri orang yang sabar, dan ciri-ciri orang yang mendekatkan dirinya pada Allah. Tentu berdasarkan dalil Quran dan hadis.

Memang, dengan mengetahui ciri-ciri kita bisa mengenali orang-orang sedemikian. Bisa juga sedikit lalu kita berintrospeksi diri apakah ciri-ciri itu ada pada kita atau tidak.

Tapi itu pun kalau kita duduk di sidang Jumat tidak dalam keadaan asyik trance antara tidur dan terjaga 'kan?! :P

Ya, memang perlu kita ketahui ciri-ciri itu. Perlu sekali. Tapi, seandainya ketika itu Allah singkapkan hijab jeritan ruhani para jemaah. Mungkin semua yang ada di sidang Jumat akan terlonjak kaget. Mungkin akan terdengar seperti ini:

Bicara ciri-ciri melulu, cara-caranya kapaaaaannn?!!!
atau, mungkin juga ada di antara jemaah yang bunyi jeritan ruhnya seperti ini:
Bicara akhlak dan hukum terus, bicara tentang Allah yang menilai akhlak dan menetapkan hukum, kapaaaaan?!!!

Ah, kau ni mengada-ada aja, Mux!
Hmm.. mungkin juga ya...tapi...
Tapi apa?!!

Tapi.. bukankah ruh itu sampai detik ini kekal makfirat kepada Allah? Bahkan, sebelum ditiupkan ke jasad kita (Q.S. al-Hijr [15]: 29), para ruh itu sudah menyaksikan Allah sehingga yakin seyakin-yakinnya berikrar, "Benar (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi!”(Q.S. al-A`raf [7]: 172). Iya 'kan?!

Lalu mengapa kita sekarang terhijab dari kesaksian ruh kita sendiri? Apa karena semua kita cenderung hidup dengan jiwa yang hanya merasai jasad sambil tak sadar kita ini bisa hidup dan bergerak pun karena adanya potensi ruh???? Apakah karena kita semua buta ilmu tentang ruh? Apakah karena disebutkan ruh itu urusan Tuhanmu dan manusia hanya diberi sedikit saja pengetahuan tentang ruh, lalu kita tidak mau tahu soal ruh? Ilmu yang sedikit itu, mengapa tidak mau digali? 'Kan cuma sedikit, tidak banyak...


Okelah, okelah.. Mux, lalu.. contoh faktanya mana?

Beginih ceritanyahh...
Sejak saya terlahir sebagai seorang muslim, saya tumbuh dengan ke-awam-an soal pandangan dan aliran-aliran dalam Islam. Ya, saya memulai Islam secara muslim KTP. Meskipun setelah kemudian saya dikenalkan Allah Swt. pada ilmu tauhid, saya tetap belum paham dan tidak peduli dengan aliran-aliran dalam Islam. Karena dalam benak lugu saya waktu itu:

"Ah, biar apa pun golongan atau pun alirannya, orang Islam mah pasti sudah yakin kalau Allah itu Ada TANPA tempat."

Demi Allah wa Rasulullah, demikianlah yang ada di benak saya ketika itu. Sungguh bukan kaget dibuat-buat ketika saya di suatu grup facebook Islami membaca ada status lengkap dengan dalil yang dengan yakin menyatakan bahwa Allah itu ada di atas, di Arsy, atau di langit dan bahwa yang berpandangan selainnya itu bidah bahkan sesat.

Tentu saja saya tidak berdiam diri melihat itu semua. Bukan diniatkan sebagai polisi akidah, sekadar menjalankan anjuran saling menasihati (Q.S. Al-’Ashr:3)

Well, tentu saja pemilik status dan kawan-kawannya tidak mudah terima. Lalu argumentasi saya yang juga disertai dalil Quran-hadis dipatahkan dengan memberikan tautan menuju sebuah situs ternama dengan tajuk: Bahaya Bicara Agama tanpa Ilmu. Tanya Mbah Gugel atau klik tautan ini.


Lalu saya buka tautan itu dan membaca sampai tuntas. Dan...ada yang tidak ada di situ padahal semestinya ada. Apa itu? Contoh perbuatannya. Bicara agama tanpa ilmu itu yang seperti apa!

Contoh bicara agama tanpa ilmu itu macam mana, Wak Haji?
Errhmm..eh..,..mmm...Pokoknya yang gak sesuai dalil Quran-hadis, Tot

Dasorrr! Haji Mabur!!


Kalau cuma memberondongkan dalil Quran dan hadis sih, semua orang yang di rumahnya punya terjemahan Quran dan hadis juga bisa ngetik gituan doang mah! >:(  Yang dibutuhkan umat itu, yang menjadi tanggung jawab ulama itu: MENJELASKANNYA HINGGA KE CARA PRAKTIK, JABRIK!

[Kalimat di atas saya berondongkan tanpa balas pada orang-orang pede di grup facebook tadi]

Belakangan, bahkan ada lagi topik yang lebih ganas di situs ternama lainnya: Berbicara tanpa Ilmu lebih bahaya dari dosa kesyirikan]

Hmm.. baru tau soal ini mah.. emang di Quran ada ya disebutkan dosa lebih ultimat daripada dosa syirik?
Itu ustad penulisnya apa gak takut kena ayat yang mereka lontarkan sendiri ya?


وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)

Katanya juga, seseorang yang bernama Ibnul Qayyim (yang diklaim) rahimahullah oleh kalangan ini menyatakan bahwa, "Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya."  :P

Hanya "ulama" kalanganmu ya yang berilmu dan yang boleh bicara agama, umat gak boleh ngomonging agama.. mau ngulang sejarah Eropa era kegelapan ya?! 

Pantesan isi warung kopi isinya oblong melulu..buih campur jigong.. T_T

Okelah..okelaaaah... jadi contoh bicara agama tanpa ilmu itu menurutmu yang gimana!

Lha nTu di atas.. xD

Grrrr... !! Jadi detail contoh praktik cara-cara jadi orang yang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, cara-cara jadi orang yang berislam secara kaffah, cara-cara jadi orang yang sabar, dan cara-cara jadi orang yang mendekatkan dirinya pada Allah itu, yang gimanaaaa!!

Hmm.. sebenernya praktik ibadah di Islam tuh gak banyak. Sedikit aja kok. Sedikit, tapi hasilnya bisa membukit, insyaAllah. Secara gak langsung isi postingan di label Di Sama-Tengah Hati udah beri isyarat ke arah praktik secara umum. Itu juga bukan dariku, dari guru tauhid loh.

Kalau mau yang detailnya satu per satu cara-cara yang diminta sih.. nanti deh.. kalau ane lagi mood nulis lagi ya.. :P InsyaAllah.




Heh, Mux! Koq berani-beraninya Loe bicara sembarangan soal ulama, hah!!
Di sinilah enaknya jadi kelas umat, kalau ane ulama 'kan gak boleh bicara sembarangan, Broer....


n.b.
Sebelum dan selama ngetik postingan ini ane liat ada beberapa komentar baru.. utamanya dari Sahabat baruku, Saudara "seperjalanan" yang kucintai karena Allah, Bang Arbi, setelah ini dipublish.. ane mohon izin ashar en istirahat dulu yah.. ini bikin postingan berjam-jam sih.. dari sebelum zuhur, Bo!! xD


Dari Umar bin Khattab r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah mengangkat derajat beberapa kaum dengan Alquran dan menurunkan derajat kaum lainnya." (H.R. Muslim)


Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]

Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.

Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:

1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.
Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)

4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)

6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)

7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)

8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)

9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]

10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
Allah berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.


Kembali
Contoh Kasus Ulama yang Bicara Agama tanpa Ilmu
Adam Troy Effendy
By Pusaka Madinah
Published: 2012-10-06T15:08:00+07:00
Contoh Kasus Ulama yang Bicara Agama tanpa Ilmu
5 411 reviews
Buku ISuS

Buku Ilmu Sedikit untuk Segala²nya

Sudah terbit buku untuk memudahkan Ikhwan/Akhwat memahami kajian tauhid hakiki yang termuat di situs ini secara lebih tersusun dari anak tangga pemahaman Islam yang paling dasar. Ikhwan yang berminat memiliki buku ini dapat menghubungi penerbitnya langsung di www.midaslearning.co.id

  • Untuk mengetahui seluk-beluk buku lebih komprehensif, lengkap dengan uraian per bab dan video garis besar kajian buku, silakan kunjungi landing page rekanan resmi kami di: www.bukutauhidhakiki.com
  • Untuk memesan buku dari rekanan resmi yang terdekat dengan kota Ikhwan/Akhwat, silakan kunjungi tautan ini: "Kami di Kota Anda".
"Sampaikan dariku walau satu ayat." [H.R. Bukhari]
Tags:
admin Pusaka Madinah

Pusaka Madinah adalah sebutan untuk ilmu, amal, dan muanayah tauhid hakiki yang menjelaskan sinergi syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat dari kalangan khawwasul khawwas yang disampaikan oleh Mursyid, K.H. Undang bin K.H. Sirad bin K.H. Yahya dengan sanad aly sebagai berikut: (1) Nabi Muhammad Rasulullah Saw., (2) Nabi Khidir a.s., (3) Abdul Aziz ad-Dabarq, (4) Abdul Wahab at-Tazi, (5) Ahmad bin Idris, (6) Muhammad Sanusi, (7) Muhammad Mahdi, dan (8) Muhammad Idris.

 

Barangsiapa menghendaki kebaikan bagi dirinya, niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Insan:29)

Copyright © 2025 Pusaka Madinah| Peta Situs | Designed by Templateism.com