Upaya pendekatan yang dilakukan Nafisah ini sebenarnya bermakna penting. Tidak saja penting bagi Khadijah, tetapi juga bagi sejarah manusia secara umum. Jika Khadijah terbukti berperan penting bagi kesuksesan Rasulullah menunaikan misi risalahnya, maka siapa pun yang membantu pernikahan mereka harus dipandang sebagai bagian penting dari proses penyebaran Islam ke seluruh dunia.
Dengan meminang Muhammad, Khadijah sebenarnya sedang menciptakan sebuah tradisi yang memihak dan menghormati wanita. Jika wanita berhak untuk mengatur urusan-urusannya sendiri, mengapa ia tidak boleh memilih seorang lelaki untuk menjadi pendamping hidup dan ayah bagi anak-anaknya? Apalagi Khadijah tidak memilih calon suami yang kaya. Pilihannya atas Muhammad lebih didasarkan atas budi pekerti yang mulia dan perilaku yang luhur. Muhammad juga terbukti mampu menjaga dan mengembangkan aset-aset bisnisnya.
Akan tetapi, bukan hal itu saja yang dipelajari dari kisah ini. Setelah Nafisah memberi tahu hasil pendekatannya, Khadijah lalu mengundang Muhammad ke kediamannya. Di sana, dengan berani, Khadijah mengungkapkan secara langsung pinangannya. Hal ini menunjukkan rasa percaya diri yang tinggi sekaligus keberanian menuntut hak dan menyampaikan aspirasi tanpa perantara. Khadijah memperlihatkan bahwa wanita mampu menangani urusan-urusannya sendiri, berhak melakukan apa pun demi mencapai kebahagiaan, serta boleh menerima siapa pun yang pantas menjadi tamunya.
Nafisah memang membantunya melakukan pendekatan awal untuk menjajakikemungkinan Muhammad menerima pinangannya. Tetapi setelah itu, Khadijah menjalani sendiri proses yang harus dilalukannya. Perhatikan ucapan Khadijah kepada Muhammad berikut ini.
"Wahai anak pamanku, aku berhasrat menikah denganmu atas dasar kekerabatan, kedudukanmu yang mulia, akhlakmu yang baik, integritas moralmu, dan kejujuran perkataanmu."
Muhammad menerimanya. Hari pernikahan yang ditunggu-tunggu itu pun datang. Muhammad didampingi oleh bani Hasyim yang dipimpin oleh Abu Thalib dan Hamzah. Hadi juga bersamanya, bani Mudhar, sedangkan Khadijah didampingi oleh bani Asad yang dipimpin oleh Amr ibnu Asad.
Pidato pernikahan disampaikan oleh Abu Thalib. Ia menyampaikan, “Segala puji bagi Allah yang telah melahirkan kita sebagai anak keturunan Ibrahim dan Ismail. Segala puji bagi-Nya yang telah menjadikan kita penjaga rumah-Nya. Dia menjadikan kediaman kita aman dan diziarahi banyak orang. Dia pula yang menjadikan kita berkuasa atas orang-orang. Keponakanku ini, Muhammad ibnu Abdillah tidak bisa dibandingkan dengan pemuda mana pun; ia pasti mengungguli mereka. Ia memang tidak kaya. Tetapi, bukankah kekayaan akan berubah dan menghilang? Dan kalian tahu di dalam keluarga seperti apa Muhammad dilahirkan. Hari ini, Muhammad menikahi Khadijah binti Khuwailid denga mahar yang seluruhnya menjadi tanggunganku. Ini akan menjadi berita besar dan kehormatan yang agung.”
Setelah Abu Thalib selesai menyampaikan pidatonya, berdirilah Amr ibnu Asad, paman Khadijah dan pemimpin kaumnya. Ia menyampaikan pujian bagi Muhammad dan mengumumkan pernikahannya dengan Khadijah. Dengan itu, resmilah pernikahan keduanya.
Pernikahan itu sendiri dilaksanakan setelah 2 bulan 15 hari setelah Muhammad datang dari Syam. Mahar yang diberikan kepada Khadijah adalah 20 ekor unta. Usia Muhammad saat itu adalah 25 tahun, sedangkan Khadijah berusia 40 tahun.
Diriwayatkan dari Hakim ibnu Hazm ibnu Khuwailid, keponakan Khadijah, “Rasulullah saw. Menikah pada usia 25 tahun, sedangkan Khadijah 2 tahun lebih tua daripada aku. Ia dilahirkan 15 tahun sebelum Tahun Gajah dan aku dilahirkan 13 tahun sebelum Tahun Gajah.”
Pesta pernikahan pun tiba. Dua ekor unta besar disembelih untuk keperluan pesta. Dagingnya dibagi-bagikan kepada keluarga, kawan-kawan, dan para fakir miskin. Suasana semakin meriah dengan bunyi tetabuhan dan nyanyian. Semua orang bergembira.
Hidup baru membentang di hadapan kedua pengantin. Kebahagiaan memenuhi perasaan Khadijah. Pernikahan ini lebih indah daripada apa yang ia bayangkan. Khadijah sadar bahwa apa yang ia dengar tentang kebaikan Muhammad ternyata tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang ia saksikan sendiri.
Muhammad selalu menampakkan sifat sabar dan tabah. Ia juga jujur. Apa yang ditampakkannya dalam perbuatan lahiriah tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada di dalam hatinya. Ia dermawan. Tidak pernah menolak membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Ia bersedekah tanpa pernah takut hartanya akan habis. Dan hal itu terbukti. Harta di tangannya selalu bertambah sebanyak apa yang ia keluarkan.
Muhammad juga sangat rendah hati. Ia tidak malu melayani dirinya sendiri. Tidak pernah ia menunggu uluran tangan pembantu dalam menangani urusan rumah tangganya. Jika Muhammad memiliki pembantu, ia yang justru menolong mereka dalam tugas-tugas yang mereka lakukan. Tidak ada pembantu yang dibebani dengan kerja berlebihan di luar batas kemampuan.
Semua orang dalam rumah tangga sepasang suami istri ini merasakan kebaikan hati Muhammad. Ia selalu mengutamakan mereka atas dirinya sendiri. Mereka selalu berbagi kebaikan dan kesenangan bersamanya.
Dalam urusan bisnis dan perdagangan, Muhammad juga berperan sangat penting. Sebagian besar waktunya dicurahkan untuk menjalankan usaha dagang yang dirintis sekian lama oleh istrinya. Tidak pernah Muhammad terlihat bermalas-malasan. Ia selalu bersemangat dan bersungguh-sungguh.
Muhammad tidak pernah memaksakan kehendaknya. Ia selalu bermusyawarah dengan Khadijah dalam urusan-urusan yang mereka tangani bersama. Ia juga merupakan pendengar yang baik dan penuh perhatian. Tidak pernah ia mengecewakan atau menolak permintaan istrinya.
Khadijah tentu sangat berbahagia dengan pernikahannya. Ia merasa tidak perlu lagi mengurus usaha dagangnya. Semua diserahkannya kepada Muhammad, suaminya. Perhatian Khadijah sepenuhnya dipusatkan pada bagaimana melayani dan mencintai suaminya serta menangani urusan-urusan rumah tangga.
Bagaimana dengan ketiga anak Khadijah dari perkawinannya terdahulu? Mereka ternyata tetap tinggal bersama Khadijah dan Muhammad, dua orang yang mencintai mereka. Ketiganya kemudian memeluk Islam dan menjadi asisten Rasulullah yang paling setia. Tidak banyak karya sejarah yang menulis ketiga anak Khadijah itu. Tampaknya, kehidupan Rasulullah menyita perhatian yang sangat besar dari kalangan sejarawan dan menjadikan kehidupan orang-orang lain sedikit terabaikan. Kami akan mengkaji kehidupan mereka bertiga dalam pembahasan tersendiri.
Waktu dan perhatian Muhammad terbagi antara urusan-urusannya sendiri, urusan-urusan keluarga, urusan-urusan perdagangan, dan urusan-urusan para kerabatnya. Ia mampu bersikap adil dalam semua itu. Tidak ada kepentingan pihak mana pun yang harus dikorbankan demi kepentingan pihak lain.
Sebagai salah satu bentuk rasa syukur atas semua nikmat yang diterimanya dari Allah, Muhammad membebaskan seorang budak wanita berkebangsaan Habasyah (sekarang Ethiopia) yang diwarisinya dari ayahnya dulu. Budak itu bernama Barakah. Ia yang pernah mengasuh Muhammad selepas kematian ibunya, Aminah binti Wahb. Muhammad begitu mencintai Barakah. Muhammad selalu bersikap ramah kepadanya dan memanggilnya dengan panggilan, “Wahai Ibunda!” di depan orang-orang. Muhammad selalu menyebutnya sebagai bagian dari keluarganya.
Setelah dibebaskan, Barakah menikah dengan Ubaid ibnu Zaid, seorang lelaki dari bani Harits. Dari pernikahan ini, lahirlah Ayman ibnu Ubaid, seorang anak yang kemudian sangat disukai oleh Muhammad. Sejak kelahiran anak itu, Barakah terkenal dengan nama Ummu Ayman ‘ibunya Ayman’.
Setelah beranjak dewasa, Ayman menjadi salah seorang sahabat terdekat Muhammad Rasulullah. Ia merupakan bagian dari orang-orang pertama yang masuk Islam. Kisah kepahlawanan pemuda ini diabadikan Abbas dalam sebuah syair.
Kita bertujuh telah menolong Rasulullah,
ketika semua orang lari ketakutan
di sana, orang kedelapan menghadapi musuh
sendirian
demi Islam, tak pernah takut ia terima serangan.
Lima dari tujuh orang yang tidak ikut melarikan diri pada Perang Hunain adalah keluarga Nabi, yaitu Abbas, Ali ibnu Abi Thalib, Fadhl ibnu Abbas, Abu Sufyan ibnu Harits ibnu Abdil Muthalib, dan Usamah ibnu Zaid. Dua orang lainnya adalah sahabat-sahabat terdekat Rasulullah, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar ibnu Khaththab. Lalu siapakah orang kedelapan yang bertempur dengan gagah berani dalam syair tersebut? Dialah Ayman ibnu Ubaid.
[InsyaAllah bersambung pada subjudul:
Kegundahan Khadijah dan Abul-Qasim]